Nasib Guru: Kerja Sebulan, Digaji Seminggu

Nasib guru, kerja sebulan digaji seminggu

Mulai kecil dulu saya sudah mengidolakan sosok guru. Bagi saya, mereka adalah pahlawan di atas pahlawan lainnya. Apalagi emak bapak juga mendukung banget kalau anaknya jadi guru. 

Dengan kondisi tersebut, membuat saya ambil jurusan keguruan waktu kuliah. Waktu itu belum pernah mikir si soal kebutuhan hidup. Bisa tercukupi gak kalau jadi guru.

Kuliah berlalu, lulus dalam waktu 5 tahun. Sebelum lulus sudah dapat tawaran jadi guru. Senang sekali. Yang awalnya hanya jadi guru les privat, jadi guru beneran di sekolah. Tanpa pikir gaji, terima aja. Keren kok jadi guru. Sesuai angan-angan. Sesuai harapan ortu. Serba sesuai lah pokoknya.

Karna tanpa mikir gaji, ya jelas gak tahu dan gak mau tahu juga soal itung-itungan gaji guru bagaimana. Apalagi ada paradigma atau doktrin di masyarakat bahwa jadi guru jangan mikir bayaran. Ikut ajalah. Ngalir dengan doktrin tersebut. Meski waktu itu hanya menerima gaji seperlima dari UMR, gak apalah. Jalani. Nikmati.

Jalan si sampai 4 tahun di sekolah tersebut. Nikmat si. Sudah ada kenaikan gaji yang hampir mencapai UMR. Jabatan wakil kepala juga saya sandang dengan masa kerja yang hanya 4 tahun. Kayaknya berprestasi. Tapi gak tahu juga prestasi apa. Gak ada sertifikat atau piagam prestasi.

Setelah itu pingin nikah. Rumah gak punya. Tanah gak punya. Mau beli, gaji masih di bawah UMR. Ada si tabungan hasil jadi guru. Tapi gak sampai angka 10 juta meski sudah 4 tahun kerja. Boros enggak. Sudah hemat banget malah, mendekati pelit. Jajan gak pernah. Makan aja yg murah, bahkan murahan kali ya.

Baru mikir, kok gaji hanya sekian apa yang salah. Jabatan dan tugas tambahan sudah banyak. Berangkat jam 6 pagi, pulang jam 4 sore. Apalagi waktu itu ada full day school. Tunjangan fungsional guru juga dapat. Meski banyak dipotong di atas. Ibarat terima badan sama ekor saja. Kepalanya sudah diambil orang.

Penasaran, berujung ingin tahu lebih jauh soal cara penggajian. Eeehhh, ternyata nasib guru: kerja sebulan, digaji seminggu. 

Lho kok bisa. Iya bisa. Itung-itungan kasarnya seperti ini. Misal seminggu dapat jatah ngajar 30 jam pelajaran. Kalau 1 jam pelajaran dihargai Rp 20.000,00. Berarti gaji pokok dari jam ngajar tersebut ya 30 x Rp 20.000,00. Hasilnya Rp. 600.000,00. Tapi ada tunjangan lain, misal jabatan wali kelas. Sebulan Rp 100.000,00. Transport per datang berapa. Dan berbagai tugas tambahan lainnya. Baru gaji pokok di total dengan tunjangan lainnya. 

Nah gaji pokok yang sekian itu yang jadi masalah bagi saya
Mungkin cara berpikir saya yang bermasalah. Tidak mengikuti undang-undang penggajian guru. Atau tidak mengikuti cara penggajian pada umumnya. Pikir saya, guru bisa makmur. Gajinya ya dihitung sebulan. Kalau jam ngajar seperti di atas. Berarti guru bisa nerima gaji 4 minggu x Rp 600.000,00. Hasilnya Rp 2.400.000,00. 

Gede kan gaji guru. Itu andaikan saja. Namanya juga angan-angan. Atau pakai sistem penggajian kayak gini. Begitu masuk jadi guru, langsung dapat gaji pokok berapa gitu. Dengan jam belajar minimal berapa jam pelajaran perminggu. Dan jangan jauh-jauh di bawah UMR. Baru nanti di hitung tunjangan lain-lainnya. Misal kelebihan jam mengajar, jabatan, masa kerja, dll.

Tapi siapa yang bakal peduli soal gaji guru. Indonesia bukan Jepang. Guru di Jepang lumayan gajinya. Indonesia juga lumayan, dibanding menganggur. Tapi lebih lumayan hasil jualan cilok.

Mestinya sudah ada pemikiran dan langkah menuju kesana. Tapi, nyatanya? Masih zonk. Bahkan orang-orang yang punya anggapan aneh seperti saya yang tidak mau ngalir mengikuti arus yang ada, pasti dianggap gila, kurang waras. 

Katanya si guru ujung tombak kemajuan bangsa. Tapi itu hanya sebatas tulisan. Kalau ujung tombak kemajuan, gak diperhatikan serius. Mana bisa jadi ujung tombak? Menjalankan tugas aja gak fokus karena yang namanya guru banyak nyambi pekerjaan lain. Alih-alih mau buat persiapan ngajar. Mikir besok makan apa saja sudah lemes.
Mas Ito
Mas Ito Blogger, agropreneur

2 komentar untuk "Nasib Guru: Kerja Sebulan, Digaji Seminggu"

  1. Kalau niatnya jadi guru ingin dapat penghasilan layak, tidaklah tepat karena tahu sendiri kan gaji guru di Indonesia khususnya honorer itu sangat sedikit

    ketika saya memutuskan kembali mengajar, saya niatkan kembali tujuan bukan semata-mata mencari penghasilan tapi lebih ingin berbagi. tentu berbeda dengan seorang lelaki yang mempunyai tanggungan menafkahi keluarga Karena untuk nafkah keluarga sebagai wanita, saya sudah ditanggung oleh suami

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nah itu dia bu. Paradigma yang hanya menganggap bahwa guru bukan suatu pekerjaan yang perlu dihapuskan. Harusnya juga sudah dianggap sebagai pekerjaan sehingga masalah gaji juga perlu dipertimbangkan. Sehingga guru menjadi incaran baik cow atau cew. Mau bagaimanapun, dunia pendidikan butuh guru laki.

      Hapus

Posting Komentar

Jangan tinggalkan link hidup ya gaes.