Setelah Resign Kerja, Begini Ceritanya

Setelah resign kerja, berbagai rasa datang menghampiri. Senang, susah, jengkel, dan rasa lain bercampur jadi satu, kayak gado-gado. Belum lagi adaptasi dengan kerjaan baru dan kadang jadi bahan tertawaan orang-orang terdekat.

Setelah resign kerja begini ceritanya
Ilustrasi resign kerja: finansialku.com

Begini perjalanan saya setelah resign kerja.

Tempat kerja saya sebelumnya berhubungan dengan dunia pendidikan. Sudah hampir satu tahun saya resign dari tempat tersebut. Tentu bukan tanpa alasan, melainkan dengan alasan terutama alasan hati.


Aahh kayak cinta aja kang kok ngomongin hati segala.

Iya.... Betul ini masalah cinta. Sebenarnya saya pribadi suka dunia pendidikan dari kecil dulu. Mulai SD sudah suka ngajari teman-teman waktu kelompokan. Meski tinggal di desa, saya dan teman-teman berinisiatif untuk membuat kelompok belajar.

Rasa cinta terhadap pendidikan tersebut kebawa hingga saya dewasa seperti saat ini. Apalagi bisa melihat anak usia sekolah, dari segi ekonomi dia biasa aja atau bahkan kurang mampu, namun punya semangat juang tinggi dalam menuntut ilmu. Bahagia rasanya.

Kalau senang dengan dunia pendidikan kenapa resign kang?

Mantab pertanyaannya. Cinta bisa muncul karena suasana mendukung. Ini masalahnya suasana tidak begitu mendukung. Niat awal mau mengamalkan ilmu biar ilmu jadi manfaat, malah amblas gara-gara ada noda rasan-rasan atau bahasa indonesianya menggunjing. Biasalah, dikantor dihuni banyak orang. Sifat kebanyakan manusia akan berkelompok sesuai dengan kesamaan pribadi dirinya, atau istilahnya buat blok-blok sendiri. Dan saya pun mau tidak mau terbawa arus. Mau menghindar juga tidak mungkin, nanti bisa dibilang sok putih, gak ramah, dll. Hasilnya jadi ikut terbawa mencari kesalahan orang lain. Kurang kerjaan kan saya? Itu buktinya sempat mencari kesalahan orang lain. Aaahhh... Bodohnya saya.

Alasan selanjutnya, saya mudah emosi kalau lihat anak, disekolahkan tapi tidak niat sekolah. Malah sering melanggar tata tertib sekolah, bolos, dan bentuk pelanggaran lainnya. Tahu sendiri kan rasanya emosi gimana? Bisa di bilang peteng pikire.

Saya dulu yang punya masa lalu sulit untuk sekolah, harus banting tulang untuk mendapatkan biaya. Sekarang ada anak yang mudah biayanya, malah gak niat sekolah. Dongkol di hati tu rasanya sampai ujung ubun-ubun.

Ketiga, jarak rumah ke tempat kerja yang jauh juga terlalu menyita energi dan waktu saya. Selain itu juga butuh uang banyak untuk transport.

Setelah resign, kerja apa kang?

Awalnya saya usaha budidaya sayur organik. Gandengan sama teman. Tapi malah uang raib. Anggap aja masih belum dikembalikan karena belum ada kali ya, atau dianya lagi butuh. (Padahal saya juga butuh).

Istri saya sempat shock saya resign dari kantor dan malah kerja tani gak jelas gitu. Dan meminta saya untuk tetap melamar kerja jadi guru lagi di sekitar tempat tinggal biar gak jauh-jauh dari rumah.

Padahal aslinya saya malas melamar kerja lagi. Ingin usaha sendiri sebisa saya, pokok saya sibuk biar gak sempat ikut dalam dunia pergunjingan alias rasan-rasan lagi. Toh kewajiban manusia hanya usaha, hasil urusan yang kuasa.

Buat nyenengin istri, nglamar aja di lembaga pendidikan formal lagi. Dan di terima di dua tempat. Hanya saja saya ambil satu tempat. Ternyata tidak dapat jam yang sesuai dengan jurusan, tapi tetap saya lakukan saja.

Seiring berjalannya waktu, saya diminta untuk memasukkan data ke website khusus tenaga pendidik. Biar tercatat siapa tahu bisa sertifikasi, dapat tunjangan, dll. Dan tentu dengan syarat meminta tanda tangan kepala sekolah lama untuk pindah atau mutasi.

Setelah minta tanda tangan, wow dapat surat cinta di messenger, seolah menertawakan. Kok kerja di sekolah formal lagi. Katanya gak mau. Intinya seperti itu. Selang beberapa waktu kemudian, ada komentar distatus fb saya yang intinya mengatakan bahwa saya menjilat ludah sendiri. Dia bilang bahwa saya ditertawakan mantan teman sekantor karena kembali mengajar di lembaga formal. Dia pun mengatakan malu punya teman saya. Tapi yang perlu saya tekankan bahwa saya memang mengajar tapi tidak seperti saya yang dulu.

Biarlah, anggap saja ini support untuk saya. Saya balas berkali-kali, eh dia malah menjadi-jadi juga. Akhirnya ada teman kuliah tanya yang intinya ini ngapain kok rame-rame. Daripada jadi bacaan publik, akhirnya komentar saya delete. Biar tidak panjang ceritanya.

Yang unik lagi, yang berkomentar kurang mengenakkan tadi adalah guru agama. Sama seperti agama yang saya yakini. Ini bukan bentuk menjelekk-jelekkan agama lho ya. Jangan dianggap ini ada hubungannya dengan SARA. Yang kurang pas bukan agamanya tapi orangnya. Ngelus dada, istighfar aja dah akhirnya. Harusnya kalau bertutur sebagai ungkapan ketidaksenangan, bisa langsung lewat sms, wa, atau message-message pribadi lainnya. Kok ya lewat komentar fb. :(

Hawong saya yang kerja, dia yang repot. Apa dia perhatian dan tahu semua jalan hidup saya kok ikut campur segitunya.

Aahhh, biarlah. Setelah kejadian itu, orderan sayur organik saya meningkat. Kebetulan juga sudah melepas kerja sama dengan teman. Selain itu juga ketrima semacam pelatihan dari BLK (Balai Latihan Kerja), waktu itu saya daftar yang ada hubungannya sama pembuatan pupuk organik dan budidaya hidroponik. Di waktu yang sama dengan ketrimanya saya di BLK, juga ada tawaran ngajar di lembaga formal yang berbasis pondok.

Dengan berbagai pertimbangan termasuk saran ortu dan istri, saya ambil yang ngajar di pondok. Jadi saya ngajar di dua tempat.

Semakin hari, saya makin sibuk dengan ngajar dan usaha ngembangkan sayur organik. Saya mengajarnya sudah tidak seperti yang dulu, dulu ngajar sambi pegang jabatan struktural. Otomatis yang ditangani banyak dan akan bersinggungan dengan banyak orang. Sekarang hanya mengajar, selesai ngajar ya pulang. Ada jam kosong pun saya pulang, biar tidak terlibat urusan rasan-rasan lagi, karena jelas ada yang namanya blok-blokan di tempat ngajar yang baru.

Tanpa pegang tugas tambahan jelas penghasilan saya minim. Dibawah 1 juta tentunya. Untuk biaya hidup sekeluarga yang terdiri dari empat orang jelas tidak cukup. Dalam hati saya memantabkan untuk berkata sabar dan tetap usaha ngembangkan sayur organik. Alhamdulillah, hati lebih tenang dan rizki dari sayur juga lumayan untuk menopang kebutuhan.

Sebenarnya, resign dari kerjaan bukan suatu masalah yang berat. Mungkin anda yang keluar bukan karena keinginan sendiri, termasuk PHK juga bukan suatu masalah berat. Jadi jangan stres memikirkan kerjaan, asalkan niat keluar dari kerjaan bukan untuk tujuan yang bertentangan dengan agama. Kalau keluar kerja atas kemauan sendiri seperti saya, harus diniati untuk niatan yang baik.
Mas Ito
Mas Ito Blogger, agropreneur

Tidak ada komentar untuk "Setelah Resign Kerja, Begini Ceritanya"