Antara Nilai, Ijazah, Ilmu, dan Penyesalan

Di bawah pohon mahoni, duduk termenung pemuda laki-laki berperawakan kutilang (kurus, tinggi, langsing). Menikmati hembusan angin dari berbagai penjuru yang seolah menyapa. Tiba-tiba datang teman kuliah, seorang perempuan tomboy.

"Hoi, kamu ngapain Dion? Nglamun di bawah pohon, kerasukan, gendeng nanti kamu", sapa Mayang.

"Ini May, aku galau dengan sekolahku mulai SD sampai kuliah sekarang ini. Sekarang kuliah tinggal 1 semester lagi sudah dapat ijazah S1", jawab Dion.

Percakapan keduanya berlanjut panjang.

Antara nilai,  ijazah,  ilmu,  dan penyesalan
Ilustrasi Dion yang menyesali sekolahnya: aris83.wordpress.com


" Lhooo... Lhooo... Lhooo, gimana Dion Dion. Teman-teman kita ini lho pada bangga sudah mau lulus, dapat ijazah dan gelar sarjana. Kamu malah galau. Mikirin apa si?"

"Begini, May, saya dulu mulai SD kan langganan peringkat 1-2 sampai kelulusan, dapat Nilai Ujian Nasional tertinggi di kelas, dan nomer 3 se kecamatan. Terus bisa masuk SMP favorit di Kota. Mulai dari SMP ini muncul banyak gejolak."

"Kan sudah SMP favorit, malah timbul gejolak. Kok bisa?"

"Iya, menyesal rasanya. Aku masuk sekolah tersebut dengan tujuan ingin meningkatkan kompetensi. Kamu tahu sendiri lah, masuk di sekolah favorit kan diseleksi ketat terutama yang berhubungan dengan kognitif. Dengan cara seleksi yang ketat tersebut, berarti jelas nanti aku akan berteman dan bersaing dengan teman-teman yang hebat."

"Okeyyy, sekarang yang bikin gejolak apa?"

"Waktu SMP memang di kelas tujuh, aku tidak bisa dapat peringkat seperti SD yang langganan peringkat kelas 1-2. Di SMP kelas tujuh hanya bisa mendapatkan peringkat 10 besar. Tapi waktu itu, wajar aku gak bisa peringkat atas, karena adaptasi. Aku dari SD desa, sekolah SMP di kota. Mayoritas teman-teman berasal dari kota. Btw kamu capek gak dengerin ceritaku May?"

"Udah, lanjut aja ceritanya. Daripada kamu nglamun tok. Cerita aja Dion."

"Ya udah tak lanjutin aja May ceritaku. Waktu kelas 8 dan 9, aku sudah bisa adaptasi dan bisa tahu kemampuan teman-teman, jadi aku bisa bersaing dengan mereka, tentunya berhasil langganan peringkat 1-2 lagi. Waktu kelas 9 semester genap May yang bikin jengkel, tepatnya waktu ujian penentu kelulusan. Ternyata tidak ada gunanya nilai yang aku perjuangkan sebagai tolok ukur kompetensiku. Sekolah punya kebijakan lain, semua siswa diberi jawaban ujian. Memang tidak semua si, tapi sekitar 20-50% dari jumlah soal. Otomatis seperti aku kan juga ikut dengan jawaban tersebut. Bagaimana aku bisa bersaing dengan teman-teman untuk mengukur kemampuanku."

"Masak ada kebijakan begitu Dion? Aku baru tahu lho. Aku pikir sekolah favorit ya jelas memiliki kebijakan yang bagus dan mereka sportif dengan hasil ujian. Gila daaaahhh. Aku si memang sekolah di tempat biasa, gak favorit dan gak begitu dikenal. Di sekolahku tidak ada kebijakan yang membolehkan guru memberi jawaban ke siswa waktu ujian. Malah di ketat banget, nyontek aja di beri sanksi sama guru. Yang diutamakan kejujuran. Bahkan ada satu guru yang mengatakan lebih baik tidak lulus daripada lulus tapi hasil contekan. Kalau kasus di sekolahmu, malah kebalikannya ya Dion? Kira-kira, kenapa ya mereka rela berbohong Dion?" 

"Aku si sependapat dengan prinsip sekolah kamu May, yang penting jujur. Kalau aku sempat baca-baca dan tanya ke saudara serta teman tentang kebijakan sekolahku, mereka melakukan tindak kecurangan karena untuk mendapatkan nilai rata-rata sekolah yang tinggi. Beda dengan sekolahmu dulu May, kemungkinan nilai ada yang tinggi, sedang, dan rendah. Lha kalau dirata-rata biasanya hasilnya jadi rendah karena nilai yang tinggi dan sedang porsinya lebih dikit dibanding nilai rendah. Dengan adanya nilai rata-rata tinggi itu menandakan bahwa kualitas sekolah bagus."

 "Waduh baru tahu aku kalau ada sekolah kayak gitu ya. Mereka main curang ya. Demi sebuah tujuan untuk menjadi honorable di mata masyarakat, mereka mengorbankan karakter. Gimana bisa memajukan Indonesia kalau sekolah saja mengajarkan kebohongan."

"Makanya itu May, aku sekarang merasa menyesal sekolah disana, karena aku membawa ketidakjujujuran secara beruntun. Ijazahku nilainya tinggi, tapi bukan hasil usahaku sendiri alias gak pake ilmuku sendiri untuk memperoleh nilai tersebut. Terus aku pake daftar SMA, dapat ijazah buat daftar kuliah. Sekarang sudah mau dapat ijazah lagi. Rasanya ijazahku tak ada manfaatnya karena berasal dari kebohongan. Aku menyesal kenapa dulu aku ikut kebijakan SMP ku. Harusnya aku mengabaikan jawaban sekolah dan mengerjakan dengan kemampuanku sendiri."
Mas Ito
Mas Ito Blogger, agropreneur

4 komentar untuk "Antara Nilai, Ijazah, Ilmu, dan Penyesalan"

  1. Sebagian masih ada, sistem pendidikan kdg tak tau gmna kang jas? Ada yg ujian spti itu dan apakah masih berlaku di UBK? Di tingkat PT jg kdg antara mhs dan dsn jg ada yg cari simbiosi mutualisme jg.. Jadi yg sebetulnya mampu dan berbakat malah jadi minder....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sungguh terlalu. Nasib anak cucu.. Pendidikan mangkrak

      Hapus
  2. Kebohongan pertama, membawa penyesalan untuk hasil berikutnya.
    Hmmm.... Saya penasaran dengan 'May'si gadis tomboy itu. (o) :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Itu langganan di warung pean mas. Biasanya sambi bawa icik-icik :D

      Hapus

Posting Komentar

Jangan tinggalkan link hidup ya gaes.